Rasa Lokal

Kemarin malam saya dan kawan-kawan berlima menghampiri sebuah food festival di Balai Kota Bandung. Rencana awal kami sebenarnya akan mengisi penuh sisa ruang di perut yang hanya sedikit terisi pada acara sebelumnya, di undangan pernikahan kawan kami. Sesampainya di venue, kami berlima mulai menyusuri beberapa stand panganan yang tersedia melawan arah jarum jam. Berbagai jenis makanan tersedia di sana, namun harga yang ditawarkan kepada para pengunjung, menurut saya pribadi, tidak bersahabat. Ya, di sini saya mulai merasakan kesenjangan yang terjadi antara saya selaku orang Bandung berumur 23 tahun tanpa pekerjaan dan beberapa pengunjung lain yang datang dari berbagai tempat dan kalangan.

Menurut prinsip hidup manusia yang entah dari mana datangnya, makanan merupakan salah satu pilar utama penunjang hidup manusia selain dua pilar lain. Konsumsi makanan yang baik berpengaruh kepada beberapa aspek pada manusia. Aspek-aspek yang berupa psikis atau fisikis yang terlibat pun berdampak negatif dan positif. Hal ini yang menyebabkan pemilihan asupan pada manusia menjadi beragam. Perkembangan banyak resep masakan dari berbagai bahan makanan pun tidak pernah habis. Mulai dari resep masakan yang hanya mengedepankan rasa saja sampai  resep makanan yang juga mempertimbangakan damak terhadap kesehatan konsumen.

Harga hasil jerih payah dalam membuat masakan yang enak dan sehat dewasa ini ikut berkembang seiring dengan berkembangnya resep-resep masakan. Harga makanan hadir sebagai parameter tegas untuk menentukan kalangan konsumen. Peran lidah terkadang sudah kalah oleh kombinasi kecantikan tampilan yang dirancang sedemikian rupa dan harga yang tinggi. Perasaan kemudian ditipu melalui mata serta isi dompet yang keluar.

Ada rasa, ada harga? 

Saya sangat skeptis terhadap pernyataan tersebut dewasa ini. Saya pernah datang ke sebuah warung nasi di kota Bandung yang menjual berbagai masakan enak dengan harga murah dan tampilan sederhana. Mungkin tidak secantik jika saya membeli makanan di beberapa resto dengan nama dalam bahasa lain. Sangat berbeda jauh dengan yang saya temukan di food festival beberapa hari yang lalu.

Apa Salahnya Menamai Menu Menggunakan Bahasa Indonesia?

Penggunaan bahasa Indonesia pada beberapa produk apapun menurut saya tidak akan menimbulkan masalah, asal tepat. Penggunaan bahasa Indonesia sebenarnya merupakan sebuah langkah baru yang tidak banyak pihak gunakan untuk menamai produk mereka di negara ini. Atas dasar pemikiran tersebut, menurut saya, sebenarnya dapat menjadi sebuah peluang untuk tampil berbeda diantara mereka, produk lokal nama internasional. Memang sampai sekarang saya belum menemukan pernyataan resmi dari pihak yang cukup dapat dipercaya bahwa bahasa Inggris adalah bahasa resmi dunia.

Jadi, sudahkah kita menghargai rasa lokal?

Author: Fuad Radityo

A human

2 thoughts on “Rasa Lokal”

Leave a comment